Ketidakadilan Dalam Kebijakan Global Kesehatan Masyarakat

C20 Summit 2022

Dalam forum C20 Summit 2022 di Bali tanggal 5 sampai 7 Oktober 2022 terungkap masalah dalam kebijakan global kesehatan masyarakat. Masalah utamanya adalah ketidakadilan dan monopoli. Ketidakadilan semakin kentara dan terang benderang pada masa pandemi Covid 19.

C20 atau Civil 20 merupakan jaringan organisasi masyarakat sipil (OMS) dari seluruh dunia yang berkolaborasi dengan G20. Sebagai engagement groups, C20 memberikan catatan kritis dan rekomendasi untuk pemimpin negara anggota G20. Tujuannya agar negara G20 mendengar suara dari akar rumput. Terutama suara kelompok miskin, minoritas dan marjinal.

C20 berharap keputusan pemimpin G20 akan selalu berpihak kepada nilai kemanusiaan dan keadilan. Sehingga tidak ada satupun rakyat yang ditinggal (no one left behind) dalam kemiskinan dan kesengsaraan.

Harapannya G20 dapat menghadirkan keadilan bagi rakyat di belahan Selatan dunia. Tetapi keadilan itu tidak kunjung terwujud. Kekayaan negara di belahan Utara semakin menumpuk. Sedangkan negara di Selatan dunia bertahan hidup dengan hutang atau donasi.

C20 adalah jaringan organisasi masyarakat sipil yang anggotanya tidak hanya berasal dari negara G20. Sehingga C20 merupakan representatif rakyat jelata yang disuarakan melalui organisasi komunitas dan organisasi profesi yang peduli pada pemenuhan hak asasi manusia.

Dalam C20 Summit di hari pertama 5 Oktober 2022 dibahas berbagai isu dari beberapa kelompok kerja. Pertemuan paralel pada kelompok kerja bidang akses vaksin dan kesehatan global membahas Global Public Health Convention for the 21st Century.

Pertemuan paralel tersebut dikordinir oleh AIDS Healthcare Foundation (AHF) yang menghadirkan pembicara ahli dari berbagai latar belakang. Dimoderatori oleh Loretta Wong Deputi Chief of Global Advocacy and Policy dari AHF.

Pembicara pertama yaitu Dr. Miguel Pedrola dari AHF Argentina yang menjabat Direktur Ilmiah Latin Amerika dan Karibia. Pedrola menjelaskan bagaimana kebijakan WHO saat menghadapi pandemi Covid 19.

Menurutnya WHO telat mikir dan lambat bertindak dalam merespon pandemi. WHO tidak segera menggunakan terminologi pandemi untuk menyebut penyebaran virus Corona. Setelah tiga bulan virus corona menyebar kemana-mana, kemudian WHO mengumumkan kegawatdaruratan pandemi Covid 19. Hal tersebut mengindikasikan tidak berfungsinya sistem kesiapsiagaan (preparedness) WHO.

Ketika vaksin sudah tersedia, nasib buruk menimpa rakyat negara miskin. Hanya 20 persen yang dapat akses vaksin. Sementara rakyat negara kaya di belahan Utara mendapat akses vaksin 100 persen. Ketimpangan akses vaksin terus terjadi hingga kini.

Pembicara kedua Maftuchan dari Indonesia sebagai pemuka C20 menyampaikan pentingnya kolaborasi. Terutama kolaborasi antara pemerintah dengan organisasi masyarakat sipil. Serta menagih komitmen pemimpin G20 untuk mengedepankan prinsip kemanusiaan dalam membuat kebijakan.

Pembicara ketiga adalah Dr. Sam Prasad Direktur Program AHF India. Dalam penjelasannya diungkap praktik ketidakadilan dalam hal penyediaan vaksin. Segelintir perusahaan farmasi raksasa ditengarai mendapat untung besar dari bisnis vaksin. Perusahaan tersebut memonopoli produksi vaksin. Bagi yang ingin membeli harus bayar tunai. Indonesia terpaksa merefokusing anggaran negara untuk membayar tunai vaksin Covid 19.

Pembicara keempat dan kelima adalah perwakilan dari komunitas marjinal dan yang terdampak HIV. Ienes Angela aktivis transgender dari organisasi Jaringan Transformasi Indonesia (JTI) menyampaikan hasil penelitiannya. Dari temuan riset ditemukan sekitar 70 persen komunitasnya mengalami kesusahan secara ekonomi. Ienes menuntut agar komunitasnya dipenuhi hak kesehatannya. Karena komunitas transgender adalah bagian dari warga negara.

Sedangkan Rara dari Yayasan Kerti Praja Bali selama pandemi tetap mendampingi teman-temannya yang terdampak HIV. Dengan kekuatannya sendiri menjaga spirit agar tetap patuh minum obat dan tidak putus asa. Meski stigma dan diskriminasi masih terjadi.

Ghoida seorang jurnalis sebagai pembicara terakhir mengajak masyarakat sipil untuk tetap bersuara mengkritisi kebijakan global kesehatan. Tetap memberikan kritik dan saran kepada pemerintah agar selalu berkomitmen untuk memenuhi hak rakyat.

Dalam sesi paralel tersebut tersurat bahwa pandemi Covid dan akses vaksin menunjukan masih ada ketimpangan dan praktik ketidakadilan. Seharusnya pemimpin G20 merombak tata kelola kebijakan global demi menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di dunia.

Praktik monopoli produksi obat, vaksin dan peralatan kesehatan untuk memulihkan kesehatan masyarakat harus dihapuskan. Pembangunan kesehatan masyarakat yang adil bagi semua orang di dunia harus menjadi visi bersama pemimpin G20.

Artikel ini terbit pada https://www.pikiran-rakyat.com/kolom/pr-015634295/ketidakadilan-dalam-kebijakan-global-kesehatan-masyarakat?page=3

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *