
Pandemi HIV/AIDS sampai saat ini masih mewabah di dunia dan menjadi epidemi. Jumlah kasus terlapor pun semakin bertambah. Kasus-kasus ini merupakan fenomena gunung es, dimana kasus yang tidak terlapor, diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan kasus terlapor.
Fenomena tersebut tentu ada sebabnya. Keengganan masyarakat untuk memeriksakan diri menjadi faktor utama kasus yang terlapor masih jauh dari perkiraan. Stigma dan diskriminasi yang beredar di masyarakat terkait HIV/AIDS, yang memperbesar rasa keengganan untuk memeriksakan diri.
WHO mencatat sepanjang tahun 2020, sebanyak 680.000 orang telah meninggal karena infeksi terkait HIV/AIDS, dan 37,7 juta orang di dunia mengidap HIV. Sedangkan di Indonesia, jumlah HIV/AIDS menurut data Kementrian Kesehatan RI Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) hingga Maret 2021, berdasarkan kategori pekerjaan/status, peringkat pertama adalah tenaga non-profesional dan karyawan (21.249), kedua Ibu Rumah Tangga (18.484) dan ketiga adalah wiraswasta (16,963).
Pernyataan tersebut sesuai dengan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia terkait faktor resiko penularan terbanyak virus HIV melalui hubungan seksual berisiko yang dilakukan oleh heteroseksual sebesar 70,1%.
Ibu rumah tangga menjadi nomor kedua dalam jumlah kasus AIDS dan kaum heteroseksual yang memiliki resiko penularan tertinggi ini sudah seharusnya menjadikan alarm untuk semua masyarakat bahwa ada kelompok rentan lain selain pengguna narkoba suntik (penasun), homoseksual, dan transgender yang harus diperhatikan.
Temuan kasus AIDS pertama kali pada tahun 1981 pada kelompok homoseksual LSL, turut memberikan stigma dan diskriminasi tambahan kepada kelompok LSL, hingga pada saat itu disebut sebagai gay cancer. Namun saat ini kita mengetahui, bahwa HIV sebagian besar menular akibat perilaku seksual yang dilakukan dengan tidak aman, baik itu dengan pasangan sejenis maupun lawan jenis.
Perilaku seksual yang tidak aman, memperbesar resiko penularan HIV dan penyakit menular seksual sebanyak 70%. Beberapa perilaku seksual yang beresiko tinggi seperti melakukan seks tanpa kondom baik itu kondom pria maupun wanita, melakukan hubungan seks oral tanpa pelindung, aktivitas seksual pada usia dini, melakukan hubungan seksual anal tanpa pelindung, berhubungan seks dengan pasangan yang beresiko tinggi tanpa pelindung, dan sering bergonta-ganti pasangan.
Perilaku beresiko tersebut memiliki dampak kepada naiknya angka kasus HIV/AIDS pada kelompok IRT atau Ibu Rumah Tangga. Kurangnya edukasi terhadap seks dan hubungan yang aman pada para suami menjadi boomerang terhadap IRT. Kurangnya edukasi tersebut terlihat dari lebih banyaknya jumlah kasus ibu rumah tangga dibandingkan kasus HIV/AIDS pada pekerja seks komersil di beberapa daerah.
Karena itu, pendidikan seks yang komprehensif sangat penting untuk semua lapisan masyarakat. Hal ini bukan hanya untuk mencegah penyebaran virus HIV, namun juga untuk mencegah penularan masal penyakit menular seksual lainnya di masyarakat. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan langkah komprehensif masyarakat, fasilitas layanan kesehatan, lembaga sosial masyarakat untuk bekerja bersama menanggulangi penyebaran penyakit menular seksual. (Refani Putri Shintya Fatoni)